Monday, June 02, 2008

The Bookaholic Club


Des—seorang penyihir, Tori—gagap dan culun, Chira—memiliki indra keenam dan bisa melihat hantu, Erin—cantik dan populer. Keempat remaja yang sebenarnya memiliki sifat yang bertolak belakang ini akhirnya bertemu. Walaupun mereka bersekolah di sekolah yang sama, tapi sebelumnya mereka tidak saling mengenal. Des, Tori, dan Chira lebih suka menyendiri. Des lebih suka menyendiri, karena ia tidak ingin ada orang lain yang tahu kalau sebenarnya dia adalah seorang penyihir (memiliki kekuatan sihir). Des dan orang tuanya khawatir dengan anggapan dan sikap orang lain yang akan menjadi sinis bila mengetahui kalau ia sebenarnya memiliki kekuatan sihir. Tori lebih senang menyendiri, karena ia sadar kalau ia gagap dan merasa minder dengan teman-teman lainnya, apalagi ia sadar pula kalau dirinya tidak sekaya seperti teman-teman lainnya (karena ia bisa masuk ke sekolah elite dan cukup bagus karena beasiswa yang diperolehnya). Chira lain lagi. Ia suka menyendiri karena kemampuan indra keenam dan bisa melihat hantunya itu sering membuat teman-temannya ketakutan. Sedangkan Erin, siswa baru, yang sangat cantik dan langsung populer dengan sendirinya, memang memiliki banyak teman (yang pasti karena kecantikan dan kekayaan kedua orang tuanya), tapi itu membuat ia jenuh dan sebenarnya sangat terpaksa untuk selalu menjadi miss populer dan miss perfect. Erin sudah tidak dapat membedakan mana teman yang memang benar-benar tulus ingin berteman dengannya atau teman yang hanya tertarik karena kecantikan dan kekayaan orang tuanya. Mereka pun dipertemukan oleh buku, karena ternyata mereka sama-sama menyukai buku.

Karena buku pula, mereka menjadi semakin akrab. Mereka pikir, mereka bisa berteman seperti itu karena kebetulan atau tanpa sengaja. Tapi, ternyata tidak. Mereka memang sengaja dipertemukan oleh Kakek Lim, seorang pemilik toko buku antik—toko yang sering dikunjungi oleh Des dan Chira. Kakek Lim mengatakan kalau mereka memang terpilih untuk menyelamatkan banyak orang (khususnya remaja), akibat dari perbuatan Katrina—nenek moyang Des yang juga seorang penyihir, yang agak menyimpang. Pada jaman dulu, Katrina sangat ingin berkuasa dan melebihi penyihir lainnya, sehingga ia pun melanggar kode etik para penyihir yaitu dilarang bekerja sama dengan kekuatan gelap. Akhirnya Katrina menyadari kesalahannya. Tapi saat ia berusaha memperbaiki kesalahannya, ia meninggal di tengah jalan. Katrina membiarkan bayangan masuk ke dunia, membuka portal ke dunia gelap dari mana bayangan berasal. Bayangan pun merenggut nyawanya, menelan jiwanya, tak ada yang bisa menyelamatkannya lagi. Akibatnya, tiap seratus tahun sekali, portal itu terbuka dan meminta banyak korban. Bayangan pun meminta darah keturunan Katrina. Tapi, karena belum ada keturunan Katrina yang bisa mematahkan kutukan dari dunia kegelapan, maka bayangan pun terus meminta korban.

Keempat remaja ini pun merasa bingung antara percaya dan tidak. Terutama Des, karena dia kunci utama dalam penyelesaian masalah ini. Mereka semakin bingung apa yang harus mereka lakukan. Mereka juga tidak tahu bagaimana menemukan portal dan media perantara dari bayangan itu. Petunjuk mereka hanya sebuah buku peninggalan Katrina yang seluruh mantranya dituliskan dengan Futhark—semacam huruf hieroglif.

Novel bergenre teenlit fantasi ini cukup menarik. Dari judulnya, mungkin kita melihat kalau novel ini seperti novel kebanyakan. Tapi, ternyata, tema dan isinya agak berbeda dari novel biasanya, karena unsur fantasi atau khayalan ditambahkan dalam novel ini. Novel ini cukup membuat kita penasaran dan tertarik untuk membacanya sampai selesai. Indahnya persahabatan pun bisa kita rasakan dalam novel ini. Persahabatan yang tulus, tanpa membeda-bedakan keadaan seseorang ini dapat menjadi contoh yang baik dalam kehidupan nyata.





Judul buku : The Bookaholic Club

Pengarang : Poppy D. Chusfani

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit : Oktober 2007

Jumlah Halaman : 192 halaman

Susahnya Menjadi Seorang REMAJA

Jo Wilisgiri atau biasa dipanggil dengan Jo, sedang mengalami perubahan dari anak-anak menjadi remaja, karena ia baru saja menjadi murid baru di SMP. Ia merasa menjadi remaja itu sangat menyulitkan dan menyusahkan. Hal-hal yang dilakukan saat SD sudah terasa kuno bagi teman-temannya di SMP. Banyak juga berbagai aturan untuk menjadi seorang remaja. Semuanya berubah, dan itu membuat Jo tidak tahu harus bagaimana. Bagi Jo, masa SMPnya itu : MENGERIKAN.


Apalagi, Sally, sahabat Jo dari SD dulu, yang juga sama-sama bersekolah di sekolah dan kelas yang sama saat SMP ini pun mulai berubah. Sally mulai jauh darinya, dan bergabung dengan sekelompok cewek (bisa dibilang geng) yang cukup gaul dan tajir. Sally juga mulai mengikuti gaya cewek elite. Hanya kadang-kadang saja, kalau ada perlu, Sally datang pada Jo dan meminta bantuannya. Hal tersebut semakin membuat Jo kangen dengan masa-masa SD.


Kalau Sally memilih untuk mengikuti klub paduan suara bersama teman-teman se-gengnya, Jo lebih memilih untuk ikut klub Sastra. Tadinya, Jo memang asal-asalan tidak sengaja saja memilih klub Sastra, tapi klub Sastra-lah yang membuat Jo berubah. Jo berubah menjadi lebih aktif, dan mulai menyukai buku, sastra, ya semua yang berhubungan dengan menulis. Apalagi, di klub Sastra, Jo mulai kenal dan untuk pertama kalinya menyukai seorang cowok, siapa lagi kalau bukan Ketua Klub Sastra yaitu Andre. Padahal, selama ini Jo sangat membenci dan tidak suka dekat dengan yang namanya cowok. Dan, dari klub sastra juga, Jo sadar kalau ia ternyata memiliki potensi dalam menulis.


Banyak hal dialami Jo, baik di dalam sekolah dan di lingkungan sekitar rumah Jo. Bahkan Jo sempat juga ikut merasakan bagaimana rasanya menjadi cewek gaul bersama Sally dan geng elite-nya. Jo, juga sempat merasakan bagaimana rasanya punya pacar, untuk pertama kalinya. Sayangnya, semua yang dialami Jo tidak berlangsung lama. Tapi berbagai hal yang dialami Jo tersebut, membuat Jo bisa mengambil hikmah atau sisi positifnya. Jo juga lebih kuat, tidak mudah terpengaruh dengan hal-hal yang negatif, dan lebih menghargai kedua orang tuanya yang sering bersikap tegas dan menerapkan berbagai aturan (yang sebenarnya baik) untuk anak-anaknya.


Novel bergenre teenlit ini cukup ringan. Memang, sih, awalnya terasa agak membosankan, atau rasanya biasa saja. Tapi selanjutnya, cukup menarik juga, karena kisah ini memang mungkin pernah kita rasakan (untuk yang sudah tidak remaja lagi) dan sedang dirasakan (untuk seorang remaja). Buku ini pas banget untuk remaja, karena masalah-masalah yang dialami Jo adalah masalah umum yang sering dialami remaja. Ada banyak hal positif yang dapat diambil dari novel ini. Coba saja lihat bagaimana Jo menyikapi berbagai hal yang terjadi dan mengambil berbagai hikmah dari kejadian-kejadian yang dialaminya atau orang-orang di sekitarnya. Intinya sih, sebagai seorang remaja, jangan hanya selalu ikut-ikutan dengan hal-hal yang mungkin saja dapt menjurumaskan kita ke dalam pergaulan negatif, tapi isilah dengan berbagai prestasi dan sikap yang baik, serta aktif, yang tentunya dapat menjadi contoh orang-orang di sekeliling kita.





Judul buku : Jurnal Jo

Pengarang : Ken Terate

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit : Januari 2008

Jumlah Halaman : 240 halaman